Analisa market kaum terpinggir


CAT'S REPORT

Saya yakin para panitia di FLP Ranting UM tidak mempercayai istilah bahwa angka “7” merupakan angka keramat atau lucky number seven. Namun, kenyataannya entah disengaja atau tidak, pelatihan Sanggar Penulisan ketujuh kemarin diset sangat istimewa. Jika keenam pelatihan sebelumnya yang berturut-turut ber“setting” di dalam ruangan, tepatnya di Lantai 2 Toko Buku Eramedia, Jl. Soekarno-Hatta, maka di pelatihan ke-7 ini, kami, para peserta pelatihan digiring untuk mengamati langsung keadaan di Alun-Alun depan Masjid Jami’ Malang. Pengamatan itu kemudian harus kami tuliskan dalam bentuk laporan perjalanan.

Hari Minggu kemarin, 21 September 2008 saya memang mengikuti pelatihan Sanggar Penulisan yang diadakan oleh Forum Lingkar Pena (FLP) ranting UM. Pelatihan tersebut diadakan seminggu sekali selama 3 bulan, dimulai sejak 10 Agustus 2008 lalu. Seperti yang sudah daya sebutkan di atas, pelatihan kemarin adalah pelatihan ke-7 yang cukup inovatif.
Sekitar jam 9.30 WIB, saya yang tiba di lokasi agak terlambat, hanya bisa terpaku saat panitia menyodorkan selembar kertas putih.

“Waktu pengamatan sudah habis. Yuk kita duduk melingkar dan menulis laporan perjalanan masing-masing.” begitu ucap Mbak Panitia.

Saya melongo. Padahal saya baru tiba beberapa menit yang lalu. Pengamatan saja belum, lalu apa yang bisa saya tulis???

Saya celingukan dan merasa sangat konyol. Dalam hati saya berdoa agar Allah SWT mengirimkan ‘inspirasi’nya saat itu juga. Bukankah doa orang yang berpuasa di bulan Ramadhan adalah salah satu doa yang mustajab. Beberapa menit berlalu dengan hening. Tak ada satu sebuah huruf pun yang tergores di atas kertas saya. Alhamdulillah ‘objek tulisan’ itu datang sendiri menghampiri kami beberapa saat kemudian.

Sebuah lantunan shalawat yang mendayu-dayu, merayap memasuki gendang telinga, menyentakkan saya dari lamunan kosong. ‘Artis’ hari itu adalah seorang ibu berjilbab kusam, badannya lumayan subur, dan ia membawa sebuah tas jinjing yang juga sama kusamnya. Pengamen ia rupanya. Demi menjaga perasaan sang Ibu, pembaca dimohon dengan sangat untuk tidak bertanya masalah kualitas suara…hahaha. Ibu itu berlalu pergi setelah seorang peserta memberinya selembar seribuan. Sang ibu lalu berpindah menghampiri kelompok peserta putra yang duduk berseberangan dari kami, para peserta putri. Coba tebak tembang apa yang dinyanyikan ‘sang Artis’. Shalawatkah? Tidak, melainkan tembang dangdut ‘Cubit-cubitan’ yang sempat dipopulerkan oleh Elvi Sukaesih itu! X(

Masyaallah. Menarik sekali. Apa yang membuat ibu pengamen tersebut ‘berpindah genre’ dengan sedemikian cepatnya? Mungkinkah tadi ia menyanyikan shalawat karena ia menyadari bahwa kami, semua peserta putri mengenakan jilbab? Bila memang itu alasannya berarti ibu pengamen tersebut telah melakukan “analisa pasar” sebelum melempar produknya ke pasaran! Walaupun mungkin analisa ibu pengamen tadi tak sepenuhnya tepat karena toh beberapa teman perempuan saya yang ikut pelatihan saat itu adalah penikmat lagu-lagu Peter Pan. Sebaliknya, di kelompok peserta putra ada seorang ikhwan yang saya tidak yakin kalau ia menyukai lagu berlirik nakal macam “Cubit-cubitan” hahaha…

Saya pun cepat-cepat menuliskan kejadian menarik itu di atas kertas. Tak disangka, dalam sehari itu saya akan menyaksikan dua “strategi market” yang dijalankan oleh kaum terpinggir di alun-alun. Dua anak jalanan kemudian menghampiri tempat kami duduk melingkar karena Mbak Zie, sang Ketua FLP Ranting UM merupakan salah satu aktivis anak jalanan. Anak-anak itu bernama Jenny dan Rini. Mereka meminta kertas kepada panitia untuk menggambar. Saya hanya mengamati ketika mereka berlarian kesana kemari, mencoret-coret kertas dan berkali-kali mencium tangan peserta pelatihan.

Tiba-tiba ibu pengamen tersebut kembali menghampiri kami. Kali ini ia mengomentari gambar-gambar anak-anak itu. Kemudian ia menegur anak yang bernama Jenny karena anak itu hanya bermain-main saja, bukannya mencari uang.

Jenny kemudian meninggalkan kertasnya dan berlari kecil ke arah beberapa pengunjung alun-alun, menengadahkan tangan kepada mereka… Itukah profesi yang dijalani anak sekecil Jenny? Astaghfirullah…

“Dia anak ibu?” saya bertanya kepada sang pengamen.

“Bukan Mbak. Tuh ibunya yang sedang jalan nggandheng anak kecil,” jawabnya sembari mengarahkan dagunya ke suatu arah. Di kejauhan saya melihat seorang wanita berambut panjang yang sedang menggandeng seorang anak lelaki yang saya taksir umurnya mungkin masih balita.

Ibu’ e leha-leha, dolan-dolan ae. Anak’e dikongkon kerjo! (Ibunya santai-santai, main-main saja kerjanya. Anaknya yang disuruh berkerja!) ” sang ibu berulang kali mengucapkan komentar yang sama. Saya hanya diam dan menyimak.

Lek gak oleh dhuwit. Digepuki arek iku! (Kalau nggak dapat uang, anak itu akan dipukuli!)” lanjut ibu pengamen itu.

Ya Allah… Saya jadi teringat sebuah diskusi si kelas mata kuliah “Speaking” dua minggu yang lalu. Saat itu kami semua membahas mengenai topik anak jalanan dan keberadaan para gepeng (gelandangan dan pengemis). Bagaimana cara mengatasi mereka dan siapa yang seharusnya bertanggung jawab terhadap mereka? Akhirnya satu kelas saat itu sepakat bahwa tak seharusnya orang-orang memberi uang langsung kepada mereka. Karena itu hanya akan memperburuk mental mereka. Bila diberi uang terus mereka akan merasa keenakan dan terus menengadahkan tangan. Pada kenyataan jaman sekarang fakta yang sering terjadi adalah banyak di antara mereka yang menjadikan mengemis sebagai profesi mereka. Bahkan sampai ada yang mengkoordinir. Banyak juga cerita seorang pengemis yang ternyata bisa memiliki rumah mewah di kampungnya dari hasil mengemis tersebut. Jadi lebih karena malas berusaha daripada keadaan yang memang memaksa. Karena fenomena itulah konon kini di kota-kota besar seperti Jakarta telah diberlakukan larangan memberi uang kepada para gepeng.

Pertanyaannya adalah bagaimana dengan kasus yang dialami anak-anak jalanan seperti Jenny? Ibunya ‘beranalisa market’ bahwa orang-orang tentunya akan iba dan memberi lebih banyak uang apabila yang meminta adalah anak kecil dengan wajah sepolos Jenny. Bila kita tidak memberi Jenny uang maka anak itu akan dipukuli oleh ibunya. Namun, bila kita memberinya uang, sang ibu akan beranggapan bahwa “analisa marketnya”, yaitu menggunakan Jenny sebagai “mesin pencari uang” telah tepat sasaran dan tentu akan terus melakukan “strategi marketnya” tersebut… Sangat dilematis…

Malang, 23 September 2008
By KAWAII NEKO

Horeee akhirnya nge-blog lagi

0 comments:

Post a Comment

Your comment here

 

The other network

Visitors