Review: Perempuan berkalung sorban (the Movie)


Cat's View
WARNING: This review contains of Spoiler Alert!

SRAAAT! Revalina membuka jilbabnya dengan serampangan. Tak ayal Oka Antara yang saat itu hanya berduaan dengannya di kandang kuda pun kelimpungan, apalagi setelah Revalina menjerit histeris ke arahnya, “Zinahi aku, Lik! Zinahi aku!”

HUEBOH TENAN!

Masih ingat trailer kontroversial ini kan? Yak, itulah sekilas cuplikan fim “Perempuan Berkalung Surban” besutan sutradara kondang Hanung Bramantyo. Kalau nggak melihat nama seorang ‘Hanung’ dalam film ini, mungkin Neko udah antipati gara-gara saking jebloknya kualitas film Indonesia belakangan ini. Kalau nggak film dewasa yang ‘nyerempet-nyerempet’ gitu ya film horror kacangan. Makanya, begitu film ini keluar, wah serasa mendapat anugerah hujan di tengah musim paceklik (hehehe lebaay).

Eh, pucuk di cinta ulam pun tiba. Entah kenapa tanpa disangka-sangka pas musim liburan (ehm..silent week menjelang UAS actually…) ortu Neko yang biasanya berprinsip ‘emoh-nonton-bioskop-coz-mahal-toh-bentar-lagi-kan-filmnya-diputer-di-televisi’, tiba-tiba ngajak nonton di 21 Matos! Yippeee! Here is the story

THE STORY
Secara garis besar, film ini menceritakan tentang jalan hidup Annisa (Revalina S. Temat), putri pemilik pesantren yang masih agak kolot, Kyai Hanan. Pesantren ini benar-benar menekankan bahwa dalam Islam, lelaki adalah imam bagi wanita, dan oleh karena itu, wanita diharamkan menentang suaminya bila sudah menikah nanti. Ada adegan saat seorang kyai pengajar di sini, di depan para santriwatinya, mengecam wanita-wanita modern yang kini sudah berani keluar rumah, bersaing dengan lelaki dalam hal karier bahkan berani menuntut cerai segala. Yang jelas konsep perempuan sebagai kanca wingking, surgo manut neroko katut, benar-benar dijunjung tinggi dalam ajaran pesantren ini. Hal ini membuat Annisa sempat antipati pada Islam yang dianggapnya hanya membela kaum lelaki. Neko yang kaum cewek bener-bener sebel ama kyai itu. Rasanya pingin ngrawuk. Asem banget, emang perempuan itu cuma dijadikan alat pemuas bagi kaum lelaki aja?! Dan Neko yakin, semua penonton cewek pasti menyimpan kegeraman yang sama…Tapi jangan buru-buru beranjak dari bangku penonton, karena masih banyak hal-hal yang luar biasa menarik dari film ini.

Sejak kecil, Annisa menyimpan cinta kepada Lik (paman)nya dari pihak ibu (Oka Antara). Hanya kepada Lik Chudorinya ini, Annisa bisa mengeluarkan semua beban hatinya, mulai dari ayahnya yang otoriter, ketidaksetujuannya terhadap konsep wanita yang dipegang oleh pesantren yang dianggapnya kolot, hingga ibunya yang lemah menghadapi ayahnya. Namun, sang paman kemudian pergi meninggalkannya karena menuntut ilmu di Kairo. Surat-surat Annisa tak sekalipun pernah dibalasnya.

Konflik berawal ketika Annisa (yang pada dasarnya memang cerdas dan kritis) mendapat kabar bahwa pengajuan beasiswanya di UIN Jogja, diterima. Namun, tentu saja sang ayah menolak untuk membiarkan Annisa kuliah di Jogja, dengan alasan tak mungkin seorang perempuan tinggal jauh dari rumahnya tanpa didampingi muhrim. Akhirnya, dinikahkanlah Annisa dengan Samsuddin (Reza Rahadian), putra pemilik pesantren Al-Falah. Pesantren Al-Huda milik Kyai Hanan banyak berutang pada pesantren Al-Falah, sehingga Annisa pun tak kuasa menolak pinangan itu. Ia pun menikah dengan harapan dengan begitu, jalannya untuk kuliah di Jogja terbuka lebar.

Namun, kenyataan sering tak seindah harapan. Lelaki yang ia nikahi ternyata seorang lelaki brengsek, suami yang semena-mena, dan seorang hypersex. Sekali lagi, Annisa terjebak dalam sebuah kehidupan yang tidak ia harapkan dan terpaksa ia jalani. Penonton pun disuguhi berbagai adegan yang membuat bergidik untuk menunjukkan perilaku seks Samsuddin yang tidak normal terhadap Annisa. Namun, adegan-adegan tersebut masih bisa dianggap wajar, karena tidak sampai menjurus pada kevulgaran (CUT!). Biar begitu, tetep aja, Neko gemetaran sendiri di bangku pojok, bahkan sampai berpikir bahwa pernikahan itu ternyata sangat mengerikan…hauuu…

Annisa pun semakin nelongso ketika suatu hari di depan pintu rumahnya muncul seorang perempuan dengan perut membuncit. Selingkuhan Samsuddin! Namun, sekali lagi Annisa dibuat tak berdaya karena tak mungkin baginya menuntut cerai. Yang paling menyedihkan adalah sang ibu mertua malah mendukung Sam untuk berpoligami sambil mengatakan, “Tak mungkin suami berpoligami kalau istri bisa memuaskan suaminya!” Hauuuu! Sedih banget deh!

Roda pun mulai berputar ketika akhirnya Annisa pulang ke pesantrennya dan bertemu dengan Chudori yang saat itu baru pulang dari Kairo. What a right moment! Kenangan-kenangan masa lalu pun kembali menari-nari dalam benak dua insan ini. Tahulah Annisa, bahwa alasan Chudori tidak pernah membalas suratnya itu bukan karena ia tidak mencintai Annisa melainkan karena ia sadar bahwa kesempatannya mendapatkan Annisa sangat kecil karena ia bukan anak seorang Kyai pemilik pesantren seperti Annisa. Terdorong oleh rasa depresinya, akhirnya terjadilah adegan yang super-duper heboh itu dalam trailer itu:

“Zinahi aku Lik! Zinahi aku Lik! Biar aku diusir dari pesantren ini! Biar aku bebar!” jerit Annisa sambil menangis meraung-raung.

Untungnya Chudori masih kuat iman dan justru menasehati Annisa. Sayang kejadian itu entah bagaimana terendus oleh Sam. Ia menerobos kandang kuda tertutup tempat Annisa sedang mengadu pada Chudori dan langsung menuduh bahwa mereka telah berzina (padahal ya gak ngapa-ngapain blas!). Sam dan anak buahnya pun menyeret Annisa dan Chudori sambil melempari mereka dengan batu. Di depan banyak orang, Sam menceraikan Annisa. Hukuman rajam hampir saja dilakukan kalau saja Ibu Annisa (Widyawati) tidak segera menerobos kerumunan massa yang sedang marah. Ia mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangan lalu mengacungkannya kepada orang-orang yang hendak merajam anaknya, “Hanya yang tidak pernah melakukan dosa yang boleh merajam!” ancamnya dengan sorot mata yang tajam menusuk. Sam dan orang-orang di sekitarnya pun diam tak berkutik, tak berani menyambut tantangan itu. Lucunya Kyai pengajar yang tadinya mengecam wanita saat mengajar pun tak berani untuk melakukan hukuman rajam. Dan akhirnya, selamatlah Chudori dan Annisa dari ancaman hukuman rajam (toh mereka juga nggak salah).

Namun, kejadian itu harus dibayar mahal. Kyai Hanan, ayah Annisa langsung terkena serangan jantung dan meninggal seketika itu juga. Chudori pun diusir dari pesantren. Annisa yang kini sudah terbebas dari Sam pun mencoba melupakan hari-hari penuh dukanya dengan kuliah di Jogja dan menjadi penulis cerpen yang karya-karyanya sering dimuat di beberapa media. Beberapa lama kemudian Annisa bekerja di sebuah LSM yang bergerak dalam bidang perlindungan perempuan akibat KDRT dan Chudori pun melamarnya. Terdorong oleh rasa depresi karena pernikahannya yang terdahulu, Annisa menolak lamaran Chudori yang sebenarnya sangat ia cintai itu. Namun, karena kegigihan pemuda itu, akhirnya Annisa pun mau menerima lamaran Chudori.

Kisah pun beralih ke kehidupan rumah tangga Annisa yang baru. Seharusnya ia bisa hidup bahagia kini, namun bayang-bayang masa lalu Annisa terus menghantui dan menyisakan trauma, sehingga ia sama sekali menolak untuk disentuh oleh Chudori. Perlahan, Chudori membimbing Annisa dalam menghadapi traumanya? Selesai?
Tentu saja tidak, akhirnya Annisa pun bertekad untuk kembali ke pesantren. Dengan menghadapi kakak laki-lakinya yang kini menggantikan ayahnya sebagai pemimpin pesantren, ia berusaha untuk merombak pola pikir yang diajarkan oleh pesantrennya yang sangat membatasi ruang gerak wanita. Cara yang ia tempuh adalah dengan menyelundupkan buku-buku non pesantren seperti novel-novel roman dan salah satunya adalah Tetralogi Bumi Manusia karangan sang maestro, Pramoedya. Buku-buku itu dimaksudkan agar wawasan para santri terbuka.

Pihak pesantren jelas menentang rencana Annisa. Bagi mereka buku yang ‘halal’ untuk dibaca hanyalah Al-Qur’an, Hadis, dan kitab-kitab agama. Semua buku Annisa dikumpulkan lalu dibakar. Namun, tantangan itu tak menyurutkan semangat Annisa. Ia bercita-cita untuk membuka perpustakaan umum di pesantren Al-Huda.
Masih banyak lagi cerita yang menarik untuk diulas dari film ini. Mulai dari kekhawatiran Annisa kalau dirinya mandul lantaran tak kunjung hamil, hingga ketika akhirnya ia harus kehilangan lagi seorang yang paling penting dalam hidupnya. Belum Samsudin yang masih merecoki hidupnya walau mereka telah bercerai. Berhasilkah Annisa???

AFTERWORDS
Udah ah, spoilernya kebanyakan nih. Ntar gak asik. Hehehe. Anyway dengan segala kualitas yang sudah disuguhkan, Neko pun tak segan-segan memberi nilai five stars of five. Bahkan kalau dibandingkan dengan Ayat-Ayat Cinta, kekuatan Perempuan Berkalung Sorban jauh di atas. Konflik batinnya benar-benar terasa. Para aktor dan aktrisnya benar-benar mengerahkan kemampuan akting mereka dengan maksimal. Neko gak nyangka kalo Reza Rahardian yang biasanya Cuma nampang di sinetron TV (secara Neko antipati ama sinetron sekarang) bisa berperan sebagai lelaki yang bener-bener brengsek. Neko sampai habis berlembar-lembar tisu pas liat film ini. Hiks, padahal cuma sedikit film yang bisa bikin Neko nangis.

Anyway Neko tadinya sempat deg-degan liat film ini, coz isu yang dibawa sangat sensitive dan berpotensi untuk mendiskreditkan agama Islam. Untungnya kemudian di tengah film ada penjelasan bahwa terpojoknya kaum perempuan selama ini bukan karena ajaran Islam yang terlalu membatasi wanita, melainkan karena budaya daerah setempat itu sendiri. Bukankah kebudayaan ‘memingit anak gadis’ itu merupakan budaya Jawa kuno. Film ini bahkan bisa mematahkan argument orang-orang yang tidak begitu mengerti Islam yang tadinya mengecam Islam karena isu gender. Hooh…jadi lega deh. Hanung sendiri pernah menyatakan bahwa film ini bukanlah film religi layaknya AAC, tapi lebih ke film budaya. Yah, sebuah film yang mengangkat tentang emansipasi wanita dan revolusi pesantren. Memukau dan menggetarkan hati.

Tampaknya animo masyarakat terhadap film ini pun bagus sekali. Pas ngantri, wueeh…panjangnya mengingatkan Neko pas ngantri tiket Laskar Pelangi dan memang saat di counter pemesanan tiket pun, kebanyakan orang yang sempat Neko lihat memang memesan tiket film ini. Di studio pun Neko lihat tak ada satupun bangku yang kosong. Totally Full! Sebegitu besarnyakah animo masyarakat? Bagi Neko hal ini cukup mengherankan, coz Neko sama sekali tak pernah mendengar gaung tentang film “Perempuan Berkalung Surban”. Beda dengan film “Ayat-Ayat Cinta” yang baru proses pembuatan aja sudah bikin orang setanah air heboh, jadinya nggak heran kalo baru diputer aja, bioskop-bioskop langsung ‘jebol’. Tapi film ini??? Well, mungkin inilah kekuatan Hanung Bramantyo yang sudah diakui sebagai penghasil film-film bermutu. Terakhir kali, Neko lihat di TV kalau Menteri Peranan Wanita sampai mengadakan acara nonton bareng film ini loh. Dahsyat!

Anyway, karena film ini settingnya di Jogja, Neko yang sebenernya ngebet banget pingin ke Jogja, jadi langsung terpukau. Hauuu...Jogja my love, kapan ya bisa ke sana lagi…Film ini mengambil setting di masa-masa orde baru gitu. Di tahun ini, buku-buku Pramodya Ananta Toer masih dianggap buku terlarang dan dibredel peredarannya, ingat? Suasana 90-annya sangat kental di film ini.

Tapi tetap saja film ini memiliki beberapa kekurangan. Misalnya peran Annisa dengan Chudori dan Samsuddin yang diperankan oleh aktor-aktris yang bukan muhrim. Walaupun di film mereka jadi suami-istri, tapi kan tetep aja aslinya bukan. Karena film ini sarat dengan suasana religius yang kental, rasanya hal itu jadi agak mengganggu. Beberapa adegan juga disajikan secara kasar, seperti adegan penganiayaan yang dilakukan Sam terhadap Annisa. Seharusnya mungkin bisa disajikan lebih halus lagi agar tidak membuat risih.
Anyway, tetep aja Neko memberi acungan 4 jempol buat film ini. Buat yang belum nonton…duh, kasihaaan deeh loe. Buruan gih. Neko rasa kita bisa mempercayakan kebangkitan film-film Indonesia pada sutradara-sutradara sekelas Hanung.

Btw udah dulu yah psotingannya. Neko kudu segera masuk kelas nih, coz Neko bilang ke dosennya Neko cuma ijin mau ke toilet sih. Kasihan ntar dia khawatir, coz Neko dikira kena mules stadium akhir. Hehehe See ya!
Viva Indonesian Movie

Januri 2009
By Kawaii Neko yang lagi terjangkit “Jogja Fever”

2 comments:

  1. saya baru nonton semalam di tv, saya rasa memang mendiskreditkan islam, karena beberapa pernyataan yang di keluarkan oleh tokoh pesantrennya memang adalah ajaran agama islam, yang karena satu tokoh yang antagonis, seolah-olah keseluruhan ajaran itu adalah salah.
    endingnya juga jelek, bagaimana mungkin tokoh2 yang sejak awal pendiriannya sudah kuat, bisa takluk oleh sebuah argumen yang ga kuat yang dikeluarkan si annisa di bagian terakhir film.
    salam

    ReplyDelete
  2. # Buat Yows. Ah masak sih? Di pertengahan film itu ada resolusinya kok. Tuh yang pas Khudhori bikin pengajian lagi di atas dangau. Endingnya juga asyik kok. Ya ini subyektivitasku sih.

    ReplyDelete

Your comment here

 

The other network

Visitors